Begitu kamera kembali ke scene acara Mata Risi Nurulhuda dari tayangan iklan, tampak Nurul dan pak Patrio sedang tertawa terbahak. Beberapa saat mereka masih saling mengucapkan kalimat, dan mereka tertawa tergelak lagi.
Di stasion TV ada petugas yang disebut Pengarah Acara. Dialah yang mengatur kapan dan kamera yang mana yang akan dialihkan masuk ke jalur saluran TV pemirsa.
Pada suatu acara selalu ada banyak kamera yang beroperasi secara simultan, tergantung jenis acaranya. Untuk Acara dialog atau talkshow biasanya 3 atau 4, sedangkan untuk acara pertunjukkan atau yang menghadirkan penonton, maka kamera yang aktif bisa 10 kamera yang berada di berbagai sudut. Ada kamera statik, ada yang bergerak dengan menggunakan trolley, semacam tripot beroda, ada pula yang menggantung menggunakan mesin Crane (camera crane) yang digerakkan secara hidrolik, sehingga kamera dapat dinaikkan tinggi menggunakan lengan crane yang panjang menjulang.
Pengarah Acara yang duduk di dalam Ruang Kontrol mengamati terus semua tayangan dari seluruh kamera yang ada selama acara berlangsung. Dia akan memilih kamera mana yang akan dialihkan ke TV pemirsa.
Saat Nurul dan pak Patrio tampak masih berbincang sambil tertawa, Pengarah Acara yang bertindak sebagai Produser sengaja sudah mengaktifkan beberapa detik sebelum Nurul diberi tanda bahwa acara sudah dimulai kembali. Ini memang merupakan kesengajaan, Pengarah Acara sengaja membiarkan pemirsa menyaksikan keakraban mereka berdua. Pada jeda yang pertama, pak Patrio sudah bersikap dingin dan malas menjawab pertanyaan disebabkan mungkin merasa disudutkan. Sedangkan pada jeda yang kedua, Nurul tampak terlalu “bersemangat” sehingga pemirsa bisa menyangka dia kesal dan marah. Dengan menyaksikan mereka ngobrol santai dan tertawa, pemirsa boleh jadi merasa lega, bahwa bukan merupakan masalah jika ada perbedaan pandangan dalam konteks ini.
Nurul | (sedikit terkejut): Oh sudah ya? . . . (Nurul memutar badannya menghadap ke pemirsa) Maaf pemirsa (Nurul melirik ke arah belakang kamera sambil tersenyum lebar, mungkin rekan-rekan cameraman menertawakannya karena dia tampak terkejut lampu kamera sudah nyala, tanda sudah on-air) |
Nurul: | Baik, penumpang Metromini yang kami hormati, maaf maksud saya pemirsa MetrominiTV yang kami hormati. Seperti yang saya sampaikan, kita telah sampai pada penghujung acara. Tapi sebelum saya bertanya lagi, saya ingin menyampaikan sedikit apa yang kami bicarakan barusan saat jeda iklan. Boleh pak ya? (Nurul masih menyisakan tawanya sambil menoleh ke arah pak Patrio) |
Patrio: | hmm, terserah mbah Nurul saja, saya pasrah hehehe. . . |
Nurul: | hahaha. . . iya para pemirsa, barusan ada istrinya yang menelpon. Yang jelas bukan istri pertama ya pak? (Nurul menoleh ke pak Patrio) |
Patrio: | . . .ke empat |
Nurul: | Iya, sang istri tadi minta agar suaminya jangan sevulgar itu waktu menjawab motivasi mengambil istri lagi, gak enak didengar anak-anak, katanya. Juga yang lucu sebenarnya bukan itu, tetapi ada anaknya yang sudah besar tadi juga menelpon. Dia minta agar bapak tidak lagi menceraikan dan mengambil istri lagi. Cukup sampai disini. Begitu ya pak? (Nurul menoleh lagi ke pak Patrio sambil masih tertawa). |
Patrio: | Betul, itu anak saya yang kedua, dia memang sudah besar. |
Nurul: | Berapa umurnya pak? |
Patrio: | 18 tahun |
Nurul: | Siapa pak namanya kalau boleh tahu? Em . . , maksud saya kalau bapak tahu atau tidak lupa? Hahaha. . . . |
Patrio: | Waduh, saya di-KO terus nih, . . .namanya Ridwan, Mohammad Ridwan Effendi. Tuh, saya masih ingat nama lengkapnya. |
Nurul: | Syukurlah pak hehehe. Nah, para pemirsa sekalian, yang menarik adalah alasan Ridwan, yang kebetulan menyimak acara ini. Dia bilang: “malu ah pak sama Rasulullah, Udah nggak usah mecat dan nambah pegawai lagi”. Hahaha, ini memang gaya anak jaman sekarang, yaitu berani ngomong apa adanya, kalau dulu mungkin dianggap kurang sopan. Yang lucu dia bilang nggak mecat dan nambah pegawai lagi, hahaha. . .. jadi gimana pak? Bapak mau mengikuti saran ananda Ridwan, atau . . . |
Patrio | (manggut-manggut): Yaaaa, kita lihat saja. |
Nurul: | . . . Kok jawabannya berbeda pak? Tadi waktu jeda iklan bapak bilang akan mengikuti saran ananda Ridwan, sekarang saat disaksikan pemirsa kok jawabannya jadi diplomatis begitu? Hahaha. . . |
Patrio (hanya tersenyum). | |
Nurul: | Baiklah. Ok. Pak Patrio saya ingin kembali menyinggung tentang semangat bapak mempromosikan poligami. Yang ingin saya tanyakan, apakah ajakan berpoligami ini berlaku umum, yaitu untuk semua laki-laki? Atau ada ketentuan lain. |
Patrio: | Ya berlaku umum. |
Nurul | (menggeleng kepala dan wajahnya kembali serius): Waduh, serius pak tidak ada syarat tertentu? |
Patrio (mengangguk namun tampak ada keraguan). | |
Nurul: | Pak Patrio kan sudah tergolong sukses dalam mata pencaharian. Sehingga tampaknya sudah tidak ada kendala materi, dalam arti bapak mampu menafkahi 4 istri, ditambah dengan anak-anak dari semua istri yang sudah mengundurkan diri. Jika ada suami yang belum sesukses bapak lalu mengikuti jalan yang bapak tempuh, apa bukannya itu mengajak kepada hal kurang amanah? |
Patrio: | Penghasilan kan relatif mbak Nurul. |
Nurul | (hanya terdiam sejenak karena tampak sudah malas mendebat): Ok. Boleh tahu pak, pak Patrio paling sayang sama istri yang mana? |
Patrio: | Semua, nggak ada yang dibedakan. |
Nurul: | Ah, masa sih pak. Pasti ada lah. |
Patrio (tersenyum). | |
Nurul: | Kayaknya yang terakhir ya pak? Biasanya kan memang suami yang poligami lebih sayang yang terakhir, yang paling muda, hahaha . . . |
Patrio: | Ah, nggak juga. Saya paling sayang istri yang pertama. |
Nurul: | Hahaha. . . bapak akhirnya ngaku juga. Bapak tadi bilang “semuanya tak ada beda” apa karena semua istri bapak sedang menyaksikan acara ini, jadi pak Patrio nggak enak sama mereka? |
Patrio (tersenyum lagi). | |
Nurul: | Kenapa pak, paling sayang ke istri yang pertama? Oh, sebentar. Istri yang pertama ini istri yang dinikahi bapak ke berapa? Istri yang pertama dinikahi dulu sudah mengundurkan diri juga? |
Patrio: | Tidak. Ini istri saya pertama. Benar-benar istri yang pertama, bukan istri yang lebih dulu dinikahi dari 3 istri lainnya. Dan memang saya tidak akan melepaskannya. |
Nurul: | Ok, kembali ke pertanyaan saya tadi? |
Patrio: | Saya lebih sayang ke dia karena dia yang pertama mendampingi saya sebelum saya sesukses sekarang. Jadi cintanya kepada saya juga pasti lebih murni. |
Nurul: | O, gitu. Saya kok jadi inget pesan ibu saya kepada kakak saya yang laki-laki. Beliau bilang begini: “Kowé nék golék bojo, kudu sing gelem diajak mlarat disik. Nék kowé wis sugih, bojomu ora siap begitu kowé ora duwé”. Pak Patrio kan dari Jawa ya? Jadi tahu maksudnya? |
Patrio: | Ya tahu, tapi entah pemirsa (tersenyum). |
Nurul: | Maaf pemirsa. Saya sengaja menggunakan bahasa Jawa karena maknanya lebih mendalam. Itu tadi artinya: “Kalau kamu cari istri harus yang mau diajak melarat (miskin) dulu. Kalau kamu sudah mapan secara materi, istrimu tidak akan siap begitu kamu terpuruk”. Apa itu yang membuat bapak lebih sayang dengan istri yang pertama? |
Patrio | (menjawab pelan dan hati-hati): Kurang lebih. |
Nurul: | Apakah jika usaha bapak terpuruk, kira-kira pak Patrio masih bisa mudah mencari istri yang baru? |
Patrio | (cuma tersenyum karena memang sudah menyangka arah pembicaraan Nurul). |
Nurul: | Wanita itu naturalnya kan memang membutuhkan kemapanan dan jaminan kehidupan ya pak? Jadi kayaknya pak Patrio akan sulit cari istri baru kalau usaha bapak bangkrut. |
Patrio: | Tapi istri-istri saya yang lain memang benar-benar cinta kepada saya kok, mereka tidak semata-mata melihat harta. |
Nurul: | Hahaha. . . saya tidak mengatakan mereka mau dinikahi bapak karena harta lho, pak Patrio yang menyangka saya punya kesimpulan seperti itu. |
Patrio: | ya, nggak apa. Saya kira itu memang natural, karena itu saya paling sayang dengan yang pertama karena dia mau diajak mlarat tadi hehehe. . . |
Nurul: | Jadi yang lain belum terbukti bisa diajak mlarat ya pak? (tersenyum menggoda). |
Patrio: | Ya nggak usah berandai-andai, dan saya tak akan menjawab itu, ntar pada protes dan nelpon ke saya. |
Nurul: | Hahaha. . . Ok, pak Patrio. Kebersamaan kita tinggal beberapa menit lagi. Saya ingin menggaris bawahi apa yang saya anggap penting dan jadi benang merah. Namun saya akan mengemukakan melalui sebuah cerita. Beberapa hari lalu saya mendengarkan tausyiah dan dialog di Radio MQ, materinya tentang Aqidah. Ada pendengar radio yang menelpon, dia bertanya begini: “boleh nggak kalau saat sholat cuma yang wajib-wajib saja, misal baca Al Fatihah saja, jadi tanpa Iftitah dan surat?”. Si ustadnya menjawab begini: “Secara syariat tidak apa-apa, dan tetap sah. Namun secara aqidah itu tercela karena tidak mengikuti Sunnah Rasul. Aqidah itu terkait dengan niat, dan ini yang dinilai mulia di hadapan Allah.” |
Patrio (manggut-manggut tanpa senyum). | |
Nurul: | Jadi yang tadi itu dianggap tercela karena tidak mengikuti Sunnah Rasul. Menurut pak Patrio, apakah tidak berpoligami itu berarti perbuatan tercela karena tidak mengikuti Sunnah Rasul? |
Patrio | (tersenyum lebar): Ini masalah yang berbeda. |
Nurul: | Ya. Karena poligami ada syarat dan ketentuan yang berat. Saya mau bertanya: Jika ada orang mau nonton bola dimana dari segi waktu akan menyulitkan melakukan sholat Ashar, lalu pada siang harinya dia pergi sebentar ke luar kota bolak-balik supaya bisa menjama-qoshor, sehingga dia bisa nonton bola tanpa terganggu sholat. Boleh nggak? |
Patrio: | Harusnya nggak apa-apa, secara syariat sah-sah saja, namun itu namanya akal-akalan. |
Nurul: | Tepatnya ngakal-ngakalin Allah, dan nggak bagus sama sekali. Jadi jika mau berpoligami jangan ngakal-ngakalin dengan berbagai dalil, apalagi dengan judul “mengikuti Sunnah Rasulullah”. Begitu pak kesimpulannya? |
Patrio: | Wah saya di-KO lagi. |
Nurul: | Satu hal penting lagi untuk saya garis bawahi adalah poligami harusnya menjadi sesuatu yang menambah kebahagiaan keluarga, baik istri tua atau istri muda, bukan sebaliknya. Jadi poligami itu merupakan kolaborasi dalam kebaikan yang menghasilkan kebahagiaan bersama. Sebenarnya saya ingin menanyakan apakah istri-istri bapak merasa benar-benar bahagia lahir bathin bukan semu, cuma karena waktu kita sudah habis, kita tak lagi bisa mendiskusikan ini. |
Patrio (manggut-manggut dan tampak lega perbincangan akan segera berakhir). | |
Nurul: | Kesimpulan yang terakhir pak: Jika yang melakukan poligami itu adalah pemuka masyarakat, maka harus mempertimbangkan unsur Dawah, bukan sebaliknya, yaitu malah menciptakan stigma negatif, misal stigma bahwa tokoh masyarakat yang muslim, para mubalig atau ustad yang sukses selalu buntutnya nikah lagi dengan berbagai dalih. Begitu ya pak? Pak Patrio mau menambahkan? |
Patrio | (menjawab cepat): Cukup. Rasanya cukup. Ulasan mbak Nurul sudah lengkap. Sebenarnya saya ingin menanyakan sesuatu, cuma entar saja setelah acara ini. |
Nurul: | Kenapa pak? Bapak mau melamar saya? Hahaha . . . |
Patrio | (terkejut): Ah, tidak tidak. Saya bisa puyeng di-KO tiap hari kalau mbah Nurul jadi istri saya, hahaha. . . |
Nurul: | Tentu tidak pak, karena saya sudah bersuami. |
Patrio | (terkejut lagi): Oh, padahal mbah Nurul masih muda. |
Nurul: | . . . dan saya adalah istri yang ke-2. |
Patrio | (terperanjat): Oh . . . |
Nurul | (memberi isyarat dengan tangan ke crew studio dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk angka V, artinya dia minta waktu 2 menit): Karena penyakit tertentu, istri pertama suami tidak bisa melaksanakan tugas sebagai istri secara penuh. Malah dia yang meminta saya menjadi istri ke-2 bagi suaminya, dan dia juga memaksa suaminya. Namun suaminya menolak, hingga mbak Ratih, istrinya itu meninggal 2 tahun kemudian. Tiga tahun setelah itu baru suaminya menikahi saya. |
Patrio (terdiam). | |
Nurul | (sekilas melihat ke arah crew): Saya masih punya satu menit, ada komentar? |
Patrio: | Jika suami mengabulkan keinginan atau paksaan istrinya itu, lalu meminta mbak jadi istri keduanya, mbak Nurul mau menerima? Maaf, tanpa bermaksud berandai-andai, hanya sekedar ingin tahu pandangan mbak Nurul. |
Nurul: | Saya dan calon suami memang sepakat tetap berada pada koridor yang kita telah bahas pada perbincangan ini. Semuanya dipertimbangkan. Jadi pak Patrio tidak bisa berandai-andai, karena kami memang sudah duduk dalam satu meja, dan saya bangga kapada suami saya sekarang atas apa yang ditempuh saat itu. Dia mempertimbangkan skala prioritas kebutuhan dirinya, esensi kebahagiaan mbak Ratih, kebahagiaan saya, perasaan dan kenyamanan anak-anak, termasuk pandangan masyarakat . . . Begitu pak, cukup ya? (tersenyum). |
Patrio (mengangguk-angguk tanpa berkata-kata). | |
Nurul: | Baik pak Patrio, saya sudah diberi kode lagi. Saya harus mengakhiri perbincangan ini. |
Patrio: | Baik, baik . . |
Nurul: | Ok pak Patrio, saya atas pimpinan MetrominiTV mengucapkan terimakasih atas kesediaan bapak hadir dalam acara ini. Saya mohon maaf jika ada pernyataan yang membuat bapak kurang nyaman, mudah-mudahan bapak tidak kapok dan masih mau hadir dalam program acara yang lain. |
Patrio: | Tentu saya mau jika diundang kembali, saya juga ucapkan terima kasih kepada mbak Nurul yang sudah memberi saya cara pandang dan wawasan dalam ini. |
Nurul: | Baik pak Patrio, salam buat keluarga semuanya. Assalamu’alaykum. |
Patrio: | Wa’alaykum salam warahmatullah. |
Nurul | (memutar badan ke arah pemirsa): Demikian perbincangan kami dengan pak Patrio, Raja Poligami Indonesia. Kami berharap para pemirsa bisa mengambil ilmu dan hikmah dari perbincangan ini. Terimakasih atas perhatiannya. Selamat malam, assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh. |
Acara Mata Risi Nurulhuda yang mendatangkan Bapak Patrio Wijoyo adalah acara yang sudah berlangsung 2 minggu lalu.
Sudah beberapa hari ini Pak Patrio muncul di banyak media cetak. Pasalnya, satu minggu setelah acara tersebut Pak Patrio meminta agar lembaga PSTP (Paguyuban Siapa Takut Poligami) membatalkan gelar Raja Poligami yang diberikan kepadanya.
Pak Patrio merasa gelar itu tidak sesuai dan tidak tepat diberikan kepadanya.