Kamis, 04 Mei 2017

Raja Poli (3-habis)

Begitu kamera kembali ke scene acara Mata Risi Nurulhuda dari tayangan iklan, tampak Nurul dan pak Patrio sedang tertawa terbahak. Beberapa saat mereka masih saling mengucapkan kalimat, dan mereka tertawa tergelak lagi.

Di stasion TV ada petugas yang disebut Pengarah Acara. Dialah yang mengatur kapan dan kamera yang mana yang akan dialihkan masuk ke jalur saluran TV pemirsa. Pada suatu acara selalu ada banyak kamera yang beroperasi secara simultan, tergantung jenis acaranya. Untuk Acara dialog atau talkshow biasanya 3 atau 4, sedangkan untuk acara pertunjukkan atau yang menghadirkan penonton, maka kamera yang aktif bisa 10 kamera yang berada di berbagai sudut. Ada kamera statik, ada yang bergerak dengan menggunakan trolley, semacam tripot beroda, ada pula yang menggantung menggunakan mesin Crane (camera crane) yang digerakkan secara hidrolik, sehingga kamera dapat dinaikkan tinggi menggunakan lengan crane yang panjang menjulang.
Pengarah Acara yang duduk di dalam Ruang Kontrol mengamati terus semua tayangan dari seluruh kamera yang ada selama acara berlangsung. Dia akan memilih kamera mana yang akan dialihkan ke TV pemirsa.

Saat Nurul dan pak Patrio tampak masih berbincang sambil tertawa, Pengarah Acara yang bertindak sebagai Produser sengaja sudah mengaktifkan beberapa detik sebelum Nurul diberi tanda bahwa acara sudah dimulai kembali. Ini memang merupakan kesengajaan, Pengarah Acara sengaja membiarkan pemirsa menyaksikan keakraban mereka berdua. Pada jeda yang pertama, pak Patrio sudah bersikap dingin dan malas menjawab pertanyaan disebabkan mungkin merasa disudutkan. Sedangkan pada jeda yang kedua, Nurul tampak terlalu “bersemangat” sehingga pemirsa bisa menyangka dia kesal dan marah. Dengan menyaksikan mereka ngobrol santai dan tertawa, pemirsa boleh jadi merasa lega, bahwa bukan merupakan masalah jika ada perbedaan pandangan dalam konteks ini.

Nurul (sedikit terkejut): Oh sudah ya? . . . (Nurul memutar badannya menghadap ke pemirsa)
Maaf pemirsa (Nurul melirik ke arah belakang kamera sambil tersenyum lebar, mungkin rekan-rekan cameraman menertawakannya karena dia tampak terkejut lampu kamera sudah nyala, tanda sudah on-air)
Nurul: Baik, penumpang Metromini yang kami hormati, maaf maksud saya pemirsa MetrominiTV yang kami hormati. Seperti yang saya sampaikan, kita telah sampai pada penghujung acara. Tapi sebelum saya bertanya lagi, saya ingin menyampaikan sedikit apa yang kami bicarakan barusan saat jeda iklan. Boleh pak ya? (Nurul masih menyisakan tawanya sambil menoleh ke arah pak Patrio)
Patrio: hmm, terserah mbah Nurul saja, saya pasrah hehehe. . .
Nurul: hahaha. . . iya para pemirsa, barusan ada istrinya yang menelpon. Yang jelas bukan istri pertama ya pak? (Nurul menoleh ke pak Patrio)
Patrio: . . .ke empat
Nurul: Iya, sang istri tadi minta agar suaminya jangan sevulgar itu waktu menjawab motivasi mengambil istri lagi, gak enak didengar anak-anak, katanya.
Juga yang lucu sebenarnya bukan itu, tetapi ada anaknya yang sudah besar tadi juga menelpon. Dia minta agar bapak tidak lagi menceraikan dan mengambil istri lagi. Cukup sampai disini. Begitu ya pak? (Nurul menoleh lagi ke pak Patrio sambil masih tertawa).
Patrio: Betul, itu anak saya yang kedua, dia memang sudah besar.
Nurul: Berapa umurnya pak?
Patrio: 18 tahun
Nurul: Siapa pak namanya kalau boleh tahu? Em . . , maksud saya kalau bapak tahu atau tidak lupa? Hahaha. . . .
Patrio: Waduh, saya di-KO terus nih, . . .namanya Ridwan, Mohammad Ridwan Effendi. Tuh, saya masih ingat nama lengkapnya.
Nurul: Syukurlah pak hehehe. Nah, para pemirsa sekalian, yang menarik adalah alasan Ridwan, yang kebetulan menyimak acara ini.
Dia bilang: “malu ah pak sama Rasulullah, Udah nggak usah mecat dan nambah pegawai lagi”. Hahaha, ini memang gaya anak jaman sekarang, yaitu berani ngomong apa adanya, kalau dulu mungkin dianggap kurang sopan. Yang lucu dia bilang nggak mecat dan nambah pegawai lagi, hahaha. . ..
jadi gimana pak? Bapak mau mengikuti saran ananda Ridwan, atau . . .
Patrio (manggut-manggut): Yaaaa, kita lihat saja.
Nurul: . . . Kok jawabannya berbeda pak? Tadi waktu jeda iklan bapak bilang akan mengikuti saran ananda Ridwan, sekarang saat disaksikan pemirsa kok jawabannya jadi diplomatis begitu? Hahaha. . .
Patrio (hanya tersenyum).
Nurul: Baiklah. Ok. Pak Patrio saya ingin kembali menyinggung tentang semangat bapak mempromosikan poligami. Yang ingin saya tanyakan, apakah ajakan berpoligami ini berlaku umum, yaitu untuk semua laki-laki? Atau ada ketentuan lain.
Patrio: Ya berlaku umum.
Nurul (menggeleng kepala dan wajahnya kembali serius): Waduh, serius pak tidak ada syarat tertentu?
Patrio (mengangguk namun tampak ada keraguan).
Nurul: Pak Patrio kan sudah tergolong sukses dalam mata pencaharian. Sehingga tampaknya sudah tidak ada kendala materi, dalam arti bapak mampu menafkahi 4 istri, ditambah dengan anak-anak dari semua istri yang sudah mengundurkan diri. Jika ada suami yang belum sesukses bapak lalu mengikuti jalan yang bapak tempuh, apa bukannya itu mengajak kepada hal kurang amanah?
Patrio: Penghasilan kan relatif mbak Nurul.
Nurul (hanya terdiam sejenak karena tampak sudah malas mendebat): Ok. Boleh tahu pak, pak Patrio paling sayang sama istri yang mana?
Patrio: Semua, nggak ada yang dibedakan.
Nurul: Ah, masa sih pak. Pasti ada lah.
Patrio (tersenyum).
Nurul: Kayaknya yang terakhir ya pak? Biasanya kan memang suami yang poligami lebih sayang yang terakhir, yang paling muda, hahaha . . .
Patrio: Ah, nggak juga. Saya paling sayang istri yang pertama.
Nurul: Hahaha. . . bapak akhirnya ngaku juga. Bapak tadi bilang “semuanya tak ada beda” apa karena semua istri bapak sedang menyaksikan acara ini, jadi pak Patrio nggak enak sama mereka?
Patrio (tersenyum lagi).
Nurul: Kenapa pak, paling sayang ke istri yang pertama? Oh, sebentar. Istri yang pertama ini istri yang dinikahi bapak ke berapa? Istri yang pertama dinikahi dulu sudah mengundurkan diri juga?
Patrio: Tidak. Ini istri saya pertama. Benar-benar istri yang pertama, bukan istri yang lebih dulu dinikahi dari 3 istri lainnya. Dan memang saya tidak akan melepaskannya.
Nurul: Ok, kembali ke pertanyaan saya tadi?
Patrio: Saya lebih sayang ke dia karena dia yang pertama mendampingi saya sebelum saya sesukses sekarang. Jadi cintanya kepada saya juga pasti lebih murni.
Nurul: O, gitu. Saya kok jadi inget pesan ibu saya kepada kakak saya yang laki-laki. Beliau bilang begini: “Kowé nék golék bojo, kudu sing gelem diajak mlarat disik. Nék kowé wis sugih, bojomu ora siap begitu kowé ora duwé”. Pak Patrio kan dari Jawa ya? Jadi tahu maksudnya?
Patrio: Ya tahu, tapi entah pemirsa (tersenyum).
Nurul: Maaf pemirsa. Saya sengaja menggunakan bahasa Jawa karena maknanya lebih mendalam. Itu tadi artinya: “Kalau kamu cari istri harus yang mau diajak melarat (miskin) dulu. Kalau kamu sudah mapan secara materi, istrimu tidak akan siap begitu kamu terpuruk”.
Apa itu yang membuat bapak lebih sayang dengan istri yang pertama?
Patrio (menjawab pelan dan hati-hati): Kurang lebih.
Nurul: Apakah jika usaha bapak terpuruk, kira-kira pak Patrio masih bisa mudah mencari istri yang baru?
Patrio (cuma tersenyum karena memang sudah menyangka arah pembicaraan Nurul).
Nurul: Wanita itu naturalnya kan memang membutuhkan kemapanan dan jaminan kehidupan ya pak? Jadi kayaknya pak Patrio akan sulit cari istri baru kalau usaha bapak bangkrut.
Patrio: Tapi istri-istri saya yang lain memang benar-benar cinta kepada saya kok, mereka tidak semata-mata melihat harta.
Nurul: Hahaha. . . saya tidak mengatakan mereka mau dinikahi bapak karena harta lho, pak Patrio yang menyangka saya punya kesimpulan seperti itu.
Patrio: ya, nggak apa. Saya kira itu memang natural, karena itu saya paling sayang dengan yang pertama karena dia mau diajak mlarat tadi hehehe. . .
Nurul: Jadi yang lain belum terbukti bisa diajak mlarat ya pak? (tersenyum menggoda).
Patrio: Ya nggak usah berandai-andai, dan saya tak akan menjawab itu, ntar pada protes dan nelpon ke saya.
Nurul: Hahaha. . .
Ok, pak Patrio. Kebersamaan kita tinggal beberapa menit lagi. Saya ingin menggaris bawahi apa yang saya anggap penting dan jadi benang merah. Namun saya akan mengemukakan melalui sebuah cerita.
Beberapa hari lalu saya mendengarkan tausyiah dan dialog di Radio MQ, materinya tentang Aqidah. Ada pendengar radio yang menelpon, dia bertanya begini: “boleh nggak kalau saat sholat cuma yang wajib-wajib saja, misal baca Al Fatihah saja, jadi tanpa Iftitah dan surat?”.
Si ustadnya menjawab begini: “Secara syariat tidak apa-apa, dan tetap sah. Namun secara aqidah itu tercela karena tidak mengikuti Sunnah Rasul. Aqidah itu terkait dengan niat, dan ini yang dinilai mulia di hadapan Allah.”
Patrio (manggut-manggut tanpa senyum).
Nurul: Jadi yang tadi itu dianggap tercela karena tidak mengikuti Sunnah Rasul.
Menurut pak Patrio, apakah tidak berpoligami itu berarti perbuatan tercela karena tidak mengikuti Sunnah Rasul?
Patrio (tersenyum lebar): Ini masalah yang berbeda.
Nurul: Ya. Karena poligami ada syarat dan ketentuan yang berat.
Saya mau bertanya: Jika ada orang mau nonton bola dimana dari segi waktu akan menyulitkan melakukan sholat Ashar, lalu pada siang harinya dia pergi sebentar ke luar kota bolak-balik supaya bisa menjama-qoshor, sehingga dia bisa nonton bola tanpa terganggu sholat. Boleh nggak?
Patrio: Harusnya nggak apa-apa, secara syariat sah-sah saja, namun itu namanya akal-akalan.
Nurul: Tepatnya ngakal-ngakalin Allah, dan nggak bagus sama sekali. Jadi jika mau berpoligami jangan ngakal-ngakalin dengan berbagai dalil, apalagi dengan judul “mengikuti Sunnah Rasulullah”. Begitu pak kesimpulannya?
Patrio: Wah saya di-KO lagi.
Nurul: Satu hal penting lagi untuk saya garis bawahi adalah poligami harusnya menjadi sesuatu yang menambah kebahagiaan keluarga, baik istri tua atau istri muda, bukan sebaliknya. Jadi poligami itu merupakan kolaborasi dalam kebaikan yang menghasilkan kebahagiaan bersama.
Sebenarnya saya ingin menanyakan apakah istri-istri bapak merasa benar-benar bahagia lahir bathin bukan semu, cuma karena waktu kita sudah habis, kita tak lagi bisa mendiskusikan ini.
Patrio (manggut-manggut dan tampak lega perbincangan akan segera berakhir).
Nurul: Kesimpulan yang terakhir pak:
Jika yang melakukan poligami itu adalah pemuka masyarakat, maka harus mempertimbangkan unsur Dawah, bukan sebaliknya, yaitu malah menciptakan stigma negatif, misal stigma bahwa tokoh masyarakat yang muslim, para mubalig atau ustad yang sukses selalu buntutnya nikah lagi dengan berbagai dalih.
Begitu ya pak? Pak Patrio mau menambahkan?
Patrio (menjawab cepat): Cukup. Rasanya cukup. Ulasan mbak Nurul sudah lengkap. Sebenarnya saya ingin menanyakan sesuatu, cuma entar saja setelah acara ini.
Nurul: Kenapa pak? Bapak mau melamar saya? Hahaha . . .
Patrio (terkejut): Ah, tidak tidak. Saya bisa puyeng di-KO tiap hari kalau mbah Nurul jadi istri saya, hahaha. . .
Nurul: Tentu tidak pak, karena saya sudah bersuami.
Patrio (terkejut lagi): Oh, padahal mbah Nurul masih muda.
Nurul: . . . dan saya adalah istri yang ke-2.
Patrio (terperanjat): Oh . . .
Nurul (memberi isyarat dengan tangan ke crew studio dengan jari telunjuk dan jari tengah membentuk angka V, artinya dia minta waktu 2 menit):
Karena penyakit tertentu, istri pertama suami tidak bisa melaksanakan tugas sebagai istri secara penuh. Malah dia yang meminta saya menjadi istri ke-2 bagi suaminya, dan dia juga memaksa suaminya. Namun suaminya menolak, hingga mbak Ratih, istrinya itu meninggal 2 tahun kemudian. Tiga tahun setelah itu baru suaminya menikahi saya.
Patrio (terdiam).
Nurul (sekilas melihat ke arah crew): Saya masih punya satu menit, ada komentar?
Patrio: Jika suami mengabulkan keinginan atau paksaan istrinya itu, lalu meminta mbak jadi istri keduanya, mbak Nurul mau menerima? Maaf, tanpa bermaksud berandai-andai, hanya sekedar ingin tahu pandangan mbak Nurul.
Nurul: Saya dan calon suami memang sepakat tetap berada pada koridor yang kita telah bahas pada perbincangan ini. Semuanya dipertimbangkan. Jadi pak Patrio tidak bisa berandai-andai, karena kami memang sudah duduk dalam satu meja, dan saya bangga kapada suami saya sekarang atas apa yang ditempuh saat itu.
Dia mempertimbangkan skala prioritas kebutuhan dirinya, esensi kebahagiaan mbak Ratih, kebahagiaan saya, perasaan dan kenyamanan anak-anak, termasuk pandangan masyarakat . . .
Begitu pak, cukup ya? (tersenyum).
Patrio (mengangguk-angguk tanpa berkata-kata).
Nurul: Baik pak Patrio, saya sudah diberi kode lagi. Saya harus mengakhiri perbincangan ini.
Patrio: Baik, baik . .
Nurul: Ok pak Patrio, saya atas pimpinan MetrominiTV mengucapkan terimakasih atas kesediaan bapak hadir dalam acara ini. Saya mohon maaf jika ada pernyataan yang membuat bapak kurang nyaman, mudah-mudahan bapak tidak kapok dan masih mau hadir dalam program acara yang lain.
Patrio: Tentu saya mau jika diundang kembali, saya juga ucapkan terima kasih kepada mbak Nurul yang sudah memberi saya cara pandang dan wawasan dalam ini.
Nurul: Baik pak Patrio, salam buat keluarga semuanya. Assalamu’alaykum.
Patrio: Wa’alaykum salam warahmatullah.
Nurul (memutar badan ke arah pemirsa):
Demikian perbincangan kami dengan pak Patrio, Raja Poligami Indonesia. Kami berharap para pemirsa bisa mengambil ilmu dan hikmah dari perbincangan ini.
Terimakasih atas perhatiannya.
Selamat malam, assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

Acara Mata Risi Nurulhuda yang mendatangkan Bapak Patrio Wijoyo adalah acara yang sudah berlangsung 2 minggu lalu.
Sudah beberapa hari ini Pak Patrio muncul di banyak media cetak. Pasalnya, satu minggu setelah acara tersebut Pak Patrio meminta agar lembaga PSTP (Paguyuban Siapa Takut Poligami) membatalkan gelar Raja Poligami yang diberikan kepadanya. Pak Patrio merasa gelar itu tidak sesuai dan tidak tepat diberikan kepadanya.

[Bandung, 3-12-2011, Epsi Budihardjo]

Raja Poli (2)

Nurul: Baik pak Patrio, kita lanjutkan perbincangan kita.
Patrio (tampak lebih tenang): Boleh, silakan mbak.
Nurul: Tadi kita baru membicarakan mengenai alasan bapak menceraikan istri . .
Patrio (menginterupsi): . . tepatnya mengabulkan permohonan pengunduran diri
Nurul: Ok. Bagi saya sama saja. . .(tersenyum sebentar).
Boleh tahu pak, kalau bapak tidak keberatan untuk menyebutkan nama istri-istri bapak sekarang?
Patrio: Oh, boleeeh. Mereka pasti senang, mereka sedang menyaksikan acara ini juga.
Nurul (menunggu dan menatap pak Patrio, tapi pak Patrio hanya tesenyum): Silakan pak, siapa nama istri bapak. Mungkin disebutkan dari mulai istri pertama, kedua, dan seterusnya.
Patrio: Istri saya yang pertama Aminah, yang kedua . . . Siti . . Siti Hanifa . . eh . . Siti Haifa (pak Patrio tampak kehilangan diri)
Nurul (tersenyum-senyum): Hanifah atau Haifa pak?
Patrio (salah tingkah): Hiafa . . eh Haifa, Siti Haifa. Saya memang suka salah manggil. . .
Nurul (masih tersenyum-senyum): Beda lho pak, nama Hanifah itu artinya adalah muslimah yang teguh dan lurus, sedangkan Haifa artinya perempuan yang langsing.
Patrio (masih tampak dibawah tekanan): Oh gitu?, ya . . ya . .
Nurul: Yang ketiga pak?
Patrio: Em . . Kirana Salsabila, dan keempat Muthia, . . Muthia Hapsari.
Nurul (menggoda): Nggak salah pak?
Patrio (tampak berusaha menenangkan diri): Oh tidak.
Nurul: Ok terima kasih pak. Anda sekarang punya putera berapa?
(HP pak Patrio berdering)
Patrio: Maaf, sebentar (sambil merogoh kantongnya)
Nurul: Silakan pak silakan, tapi kalau bisa nanti setelah ini sementara dimatikan saja pak.
Patrio berbicara dengan seseorang di seberang sana, bicara dengan muka panik.
Patrio: Oh, ya, ya, . . . maaf ya sayang. . . , ok baik nanti saya koreksi. Walaykum salam.
Nurul: Darimana pak kok kelihatannya mesra? Dari istri atau anak? Tidak disuruh pulang kan? Hahaha. Apakah ada hubungannya dengan perbincangan ini?
Patrio: Dari istri saya Muthia. Maaf tadi salah sebut, Muthia Salsabila istri saya yang ketiga, Kirana Hapsari yang keempat (pak Patrio tampak grogi)
Nurul (tertawa terbahak): Hahaha. . . Rupanya dia protes ya. Waaah, gimana nih pak, kok lupa mana istri yang dinikahi duluan?. Sebentar, rasanya tadi namanya juga terbalik ya?
Patrio: Eh, iya, yang benar Muthia Salsabila bukan Muthia Hapsari, yang Hapsari itu Kirana.
Nurul (tertawa lagi): Walah walah bapak lucu juga, selain lupa urutan, lupa sama nama istri sendiri, hahaha. . .
Patrio: Ya, maklumlah sudah tua.
Nurul: Emang berapa usia pak Patrio sekarang?
Patrio: Jalan 46
Nurul: 46? Wah masih muda itu pak. Masih usia produktif. Masa 46 bapak merasa sudah tua? Umur 50-60 masih bisa mencalonkan jadi Presiden lho. Di Uni Sovyet dulu, rata-rata umur 80 masih ikut pemilihan Presiden
Patrio: Ya, saya agak lupa saja.
Nurul: Ok, tadi saya tanya mengenai putera bapak?
Patrio: Oya, jumlahnya ya? Anak saya alhamdulillah 18 orang.
Nurul: Betul pak 18? Coba dingat-ingat lagi? Hahaha. . .
Patrio: Betul, betul, 8 laki-laki, 10 perempuan.
Nurul: Bapak hapal dengan nama-nama mereka?
Patrio (tersenyum): Saya nggak bawa Tablet Mac saya. Di sana lengkap data tentang anak saya, tanggal lahir, sekolahnya dan sebagainya.
Nurul: Hehe, saya tidak perlu mengetahui serinci itu pak. Atau gini saja, bapak cukup menyebutkan jumlah anak dari istri pertama, kedua, ketiga,dan keempat.
Patrio: 18 orang itu bukan dari 4 istri yang sekarang saja, namun juga yang dulu. Jadi agak repot kalau menyebutkan dari istri yang mana.
Nurul: Baiklah pak, kita beralih ke pertanyaan lain (diam sejenak, namun masih tersenyum)
Saya ingin tahu, sebenarnya apa motivasi bapak melakukan poligami.
Patrio: Saya ingin mengikuti sunnah Rasul.
Nurul: Oh, sunnah Rasul ya?
Patrio: Ya. Mbak Nurul berkerudung, jadi nampaknya muslimah yang taat juga, jadi tak perlu saya jelaskan apa yang disebut Sunnah Rasul.
Nurul: Makan menggunakan tangan kanan, menjamu tamu, menjaga hubungan baik dengan tetangga, dan sebagainya juga Sunnah Rasul. Apakah poligami memiliki tingkat atau level yang sama atau analog dengan itu?
Patrio (diam sebentar): Saya takut salah jawab. Bagusnya pak Kiai atau ulama saja yang lebih kompeten menjawab hal itu mbak.
Nurul: Apakah bapak mengetahui berapa wanita yang pernah dinikahi Rasulullah?
Patrio: Kalau tidak salah 10 atau 12
Nurul: 12 orang.
Bapak bisa menyebutkan istri Rasulullah siapa saja? Sebisanya saja pak, tidak harus semuanya. Atau kalau tidak hapal nama, bisa juga disebutkan dia itu siapa atau statusnya apa.
Patrio: Khodijah, Aisyah, Saudah, . .
Saudah itu mantan istri seorang muslim yang mati syahid di perang Uhud. Terus . . . em, ada yang bergelar ibu Fakir Miskin, cuma saya lupa namanya.
Nurul: Sudah? Itu saja pak.
Patrio (tersenyum): Ya itu saja yang saya ingat.
Nurul: Bapak punya alasan kenapa yang diingat 4 orang tersebut?
Patrio: Khodijah kan istri Rasul yang pertama, dan Rasulullah sangat bersedih ketika Khodijah wafat.
Kalau Aisyah, karena banyak meriwayatkan hadist dan banyak kisahnya. Yang ibu fakir miskin saya ingat karena . .
Nurul (memotong): Zainab binti Khuzaimah. Karena ada dua Zainab, satu lagi Zainab binti Jahsyi, yang diceraikan oleh Zaid.
Patrio: Oya, betul Zainab, beliau terkenal juga, karena rumahnya selalu dipenuhi dengan orang miskin dan anak yatim. Sehingga Rasulullah menikahi beliau dengan tujuan bersama-sama menyantuni orang yang lemah.
Kalau Saudah, saya sering mendengar kisah perselisihannya dengan Aisyah. Mungkin mereka berdua bersaing mendapatkan perhatian yang lebih dari Rasulullah.
Nurul: Bapak tahu berapa umur Saudah saat dinikahi Rasulullah?
Patrio: 35 tahun?
Nurul: Itu cuma setengah umurnya pak. Saudah berusia 70 tahun saat dinikahi Rasul. Rasul sendiri saat itu berusia 52 tahun. Bapak tahu nama istri Rasulullah yang berkulit hitam?
Patrio: Ada gitu? Saya tak ingat atau saya belum tahu.
Nurul: Ya Saudah itu. Beliau berasal dari Sudan. Suaminya adalah As-Sukran. As-Sukran wafat di perang Uhud karena melindungi Rasulullah.
Patrio (manggut-manggut perlahan)
Nurul: Bapak pernah mempelajari alasan Rasulullah menikahi wanita-wanita tersebut?
Patrio (berdiam diri sebentar, memandang Nurul, dia tampak waspada, dia berusaha menebak arah pertanyaan Nurul)
Patrio: Yah, di antaranya untuk ikut membantu menyantuni anak yatim, orang miskin, dan orang yang lemah . .
Nurul: Betul itu saat menikahi Zainab binti Khuzaimah yang dikenal sebagai Ummul Masakin, ibu kaum fakir dan miskin. Yang lain pak?
Patrio: Menikahi janda perang, seperti Saudah.
Nurul: Yang lain?
Patrio (berpikir, menundukkan kepala).
Nurul: Pembebasan budak. Mariyah dan Juwairiyyah adalah budak yang dibebaskan oleh Rasul. Dan ada alasan lain, yaitu menjaga ketauhidan mereka.
Patrio (memegang dagunya, tersenyum sedikit).
Nurul: Apalagi pak, alasan Rasulullah menikahi atau pernah menikahi 12 wanita tersebut? Saya sudah membantu lho barusan.
Patrio: Apalagi ya?
Nurul: Kalau Aisyah? Kenapa Rasulullah menikahi Aisyah?
Patrio: Hehehe, saya kok rasanya sedang ikut ujian ya?
Nurul: Bukan pak, kita kan cuma sharing nih ceritanya.
Patrio: Aisyah itu kan penghapal hadist. Mungkin karena dia cerdas?
Nurul: Misi utamanya sebenarnya bukan itu pak. Kepada Aisyah-lah Rasulullah mengajar segala hal tentang kewanitaan untuk disampaikan kepada kaum wanita.
Patrio: Oh, ya.
Nurul: Ok deh pak, bisa sebutkan satu lagi alasan kenapa Rasulullah menikahi wanita-wanita tersebut?
Patrio (membuka telapak tangannya, dan sedikit menggelengkan kepala sambil tersenyum)
Nurul: Da’wah.
Shafiyah dan Maimunah itu dari suku dan lingkungan Yahudi, Hafsah sebagai wanita penghapal Quran yang pertama, Aisyah yang ahli ilmu kewanitaan dan hadist, dan Ummu Salamah yang pandai mengajar.
Kemudian alasan lain adalah menjaga ketauhidan. Saudah, Shafiyah, dan Juwairiyyah terancam keimanannya karena lingkungannya. Sedangkan Ummu Habibah itu dinikahi karena suaminya murtad, pindah agama ke Nasrani.
Patrio: Wah, salut deh, mbak Nurul pengetahuannya luas juga.
Nurul: Kalau pak Patrio, apa alasan bapak menikah lagi?
Patrio (memandang Nurul, tampak ingin berkata sesuatu)
Nurul: Oya pak. Bapak tahu dari 12 orang istri Rasul, berapa yang berstatus janda?
Patrio: Zainab, Saudah, lalu yang tadi mbak sebutkan yang suaminya murtad . . . Salamah ya? Ummu Salamah?
Nurul: Yang janda itu 10 orang pak. Hanya Aisyah dan Mariyah yang perawan.
Patrio (manggut-manggut).
Nurul: Bapak tahu berapa orang yang usia para janda tersebut?
Patrio (masih manggut-manggut dan tersenyum sedikit).
Nurul: 80% di atas 45 tahun, dan 40% dari yang 80% malah di atas 60 tahun.
Patrio (memandang Nurul tanpa senyum).
Nurul: Jadi yang tadi itu apa pak?
Patrio: Yang mana?
Nurul: Alasan bapak menikah lagi?
Patrio (terdiam sejenak lalu menjawab perlahan): Saya harus menjalankan perusahaan dengan baik. Kan saya harus keliling dan keluar kota tempat perusahaan saya beroperasi. Dan saya terus terang kemana-mana harus didampingi istri.
Mbak bisa maklum kan. Kalau istri saya cuma satu dan dia sedang berhalangan, kan saya susah. Apalagi dia harus mengikuti saya ke berbagai kota, kasihan.
Kalau di setiap perusahaan saya ada istri kan jadi mudah, sehingga supaya lebih efisien dan optimal, makanya mereka menjadi pengelola atau manajer di perusahaan tersebut.
Nurul: Jadi apa alasan bapak mempunyai istri lebih dari satu? Agar istri selalu siap? Tujuannya kok sesempit itu pak?
Patrio (tersenyum): Yaaah, memang terus terang alasan saya masih sebatas kebutuhan biologis. Belum seperti Rasulullah.
Nurul: Pada awal pembicaraan tadi bapak menyebutkan alasannya Sunnah Rasul bukan?
Patrio (tersenyum sedikit, matanya melihat ke arah meja): Ya . . . memang belum sih.
Nurul: Jadi bapak mengkoreksi bahwa bapak berpoligami sebenarnya bukan karena Sunnah Rasul ya? Tapi masih sebatas kebutuhan biologis?
Patrio (tersenyum): . . . Yaah, saya kira fitrahnya laki-laki memang kebutuhan biologisnya seperti itu mbak. Saya kira normal.
Nurul: Namun kenapa yang disodorkan dahulu adalah Sunnah Rasul-nya? Kalau hanya karena kebutuhan biologis, bukan kah ini seperti merendahkan makna dari Sunnah Rasul? Saya malah berpendapatan ini semacam pelecehan pak.
Patrio: Saya tidak bermaksud demikian.
Nurul: Saya kira para poligamiwan perlu lebih bijaksana. Saya yakin jika Rasulullah masih hidup, bapak termasuk yang akan ditegur beliau.
Patrio (mencoba tersenyum, tanpa bisa berkata apa pun)
Nurul: Jadi karena bapak menganggap fitrah laki-laki itu memang kebutuhan biologisnya lebih besar, sehingga bapak begitu semangat mempromosikan poligami?
Patrio: Itu lebih baik dibandingkan selingkuh kan? Dan itukan diperbolehkan?
Nurul: Tentu saja, itu lebih baik dibandingkan selingkuh, dan saya tidak bermaksud meniupkan isyu menentang poligami. Kita tidak boleh mengharamkan yang halal. Tetapi kenapa sebagian besar para suami atau tokoh masyarakat yang melakukan poligami itu berlindung di balik Sunnah Rasul?
Patrio (kembali mencoba tersenyum)
Nurul: Rasulullah itu adalah manusia yang paling baik terhadap istrinya. Bahkan sampai urusan kecil, misalnya beliau tidak pernah mencela masakan istrinya walau dengan sindiran sekali pun. Ini kan akhlak yang lebih patut diperhatikan. Bukan hanya main comot judulnya saja yaitu poligami, tanpa melihat makna mendalam dari poligami yang dilakukan Rasulullah.
Patrio (terdiam, memandang Nurul): Jadi menurut mbak, tidak tepat jika ada alasan kebutuhan biologis?
Nurul: Bukan demikian. Itu kesimpulan yang salah. Namun ada koridornya.
Patrio: Kelihatannya saya yang sekarang harus bertanya kepada mbak Nurul, hehehe. Nggak apa-apa kan? Tidak melanggar peraturan MetrominiTV?
Nurul: Tidak apa. Mau tanya apa pak Patrio?
Patrio: Ya yang tadi itu, koridor apa yang dimaksud.
Nurul: Poligami harus tetap dalam koridor untuk kebahagiaan keluarga. Baik keluarga istri tua dan istri muda. Kalau yang sekarang banyak terjadi: Istri tua sakit hati, merasa didzalimi, masuk rumah sakit karena depresi, istri tidak lagi sebahagia sebelumnya, anak-anak tak lagi merasakan kedekatan dengan ayahnya, bahkan kehilangan figur dan panutan. Sehingga singkatnya: sudah tidak ada lagi kehangatan dan kebahagiaan. Harusnya tidak demikian. Poligami seharusnya membuat mereka makin bahagia.
Patrio: Tampaknya itu tidak mudah.
Nurul: Memang benar, itu tidak mudah. Jadi jika ada yang berpoligami dengan hanya karena alasan biologis, lalu mengatakan ingin mengikuti Sunnah Rasul, apalagi menasehati istri tuanya agar bersabar karena akan menjadi penghuni surga. Ini tidak proporsional, ironis, bahkan kontra produktif dengan syiar Islam.
Patrio: Kontra produktif dengan syiar Islam?
Nurul: Ya (diam sejenak).
Tanpa ada yang berpoligami saja, orang di luar Islam kan sering melecehkan Nabi Muhammad sebagai orang yang gila perempuan, masya Allah.
Kita tak bisa pungkiri, orang Islam yang belum mengerti kan masih banyak, dan mereka yang belum mengerti ini sering menyaksikan episode yang yang menggetirkan. Ustad atau tokoh yang semula disegani akhirnya terpuruk, dalam arti ditinggalkan oleh masyarakat, atau masyarakat kecewa, karena dia dan keluarganya tidak lagi bisa dijadikan panutan.
Patrio: Bukankah mereka juga menjelaskan juga kepada masyarakat?
Nurul: Apa yang mereka lakukan lebih utama dari pada yang mereka ucapkan, karena yang mereka ucapkan terasa lebih sebagai mencari pembenaran.
Jadi alih-alih para tokoh Islam menjelaskan tentang makna mendalam poligaminya Rasulullah, malahan mereka seakan memperburuk image tentang hal ini.
Akibatnya masyarakat muslim yang sebagian besar masih kurang pemahamannya, dalam arti masih perlu pembinaan, menjadi punya image yang tak baik terhadap para tokoh masyarakat tersebut.
Patrio: Tak baik bagaimana?
Nurul: Hehehe, bapak seakan hidup di atas awan, jadi tidak mendengarkan aspirasi di dunia nyata. Saya suka dengar mereka bilang “Ah ustad kan sama saja, tausiyah kemanaaa, ntar buntutnya juga poligami”.
Ini kita belum memperhitungkan image orang non-islam lho. Pasti akan lebih parah dan mengerikan. Ini yang saya maksud dengan kontra produktif dengan syiar Islam.
Patrio (manggut-manggut perlahan, kini tanpa dihiasi senyum sama sekali)
Nurul (memandangnya dengan muka serius, dan tampak sedikit gusar karena gemas, terutama setelah menjelaskan masalah kontra produktif).
Nurul (mencoba menenangkan diri): Gimana pak ada pertanyaan lain?
Patrio: Yaaah, mungkin sementara cukup.
Nurul dan Patrio berdiam diri dengan canggung.
Nurul (kembali tersenyum): Baik . . . emmm . . . (Nurul melirik ke arah kanan kamera, tampaknya ada yang memberinya kode)
Nurul: Baik mungkin kita istirahat sejenak (Nurul menggeser badannya dan menghadap ke kamera pemirsa)
Para pemirsa MetrominiTV yang kami hormati, sampailah kita pada akhir dari perbincangan ini, namun sebelumnya kita akan jeda kembali sejenak.
Jangan kemana-mana karena kami akan segera kembali.
Patrio (menyela): Kalau pemirsa mau ke toilet dulu tentu boleh kan mbak?
Nurul (tertawa): Hahaha, tentu, tentu saja boleh . . .

Raja Poli (1)

Stasion TV swasta bertambah lagi, namanya MetrominiTV. Ini memang mengingatkan kita pada nama suatu TV swasta yang sudah ada. Jika TV swasta yang dimaksud mempunyai warna identitas yang serba biru, maka MetrominiTV mempunyai warna yang khas, yaitu serba hijau.
Ada anggapan di masyarakat, warna menunjukkan suatu prinsip, sikap, atau cara pandang. Warna kuning biasanya bernuansa dominasi, chauvinis, merasa superior. Warna merah, menandakan berani, kritis, namun terkesan mudah gusar atau pemarah. Warna hijau seringkali dikaitkan dengan suatu agama tertentu. Sedangkan warna biru biasanya menunjukkan mereka berdiri di semua golongan, saking netralnya, di stasion TV yang punya identitas biru itu tak ada wartawan yang berkerudung karena dianggap “tidak netral”. Saya kurang tahu, warna identitas hijau dari MetrominiTV apakah karena memang mereka bernuansa agama tertentu, atau ada hubungannya dengan nama stasionnya yang mirip jenis angkutan kota yang umumnya berwarna hijau.

Salah satu program yang menarik di MetrominiTV adalah “Mata Risi Nurulhuda”. Sekali lagi acara ini pun mengingatkan kita pada suatu acara yang namanya mirip-mirip di TV swasta yang bernuansa biru tersebut. Pernah pada salah satu edisode, si wartawan cantik Nurulhuda, mewawancarai seorang Raja. Wawancara tersebut tentu saja bukan tentang mata Nurul yang memang mempunyai mata yang indah mempesona, namun tentang kehidupan sang Raja.
Acara “Mata Risi” memang sesuai namanya, yaitu membahas yang bersifat risi. Asli kata RISI itu berasal dari bahasa Jawa yang artinya “tak enak” atau segala sesuatu yang membuat menganggu. Kata “risi” saat ini sudah menjadi bahasa Indonesia (menjadi “risih”).
Acara ini memang menarik, apalagi yang membawakannya adalah Nurulhuda yang selain cantik, juga Nurul itu cerdas dan memang banyak pengetahuannya, yah . . . memang klop dengan namanya. Nurulhuda punya arti “cahaya pengetahuan” atau “petunjuk”.

Tadi disebutkan, yang diwawancarai Nurul kali ini adalah seorang Raja. Namun ini bukan Paduka Yang Mulia Raja Bhumibol Adulyadej dari Muangthai, Raja Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah, atau Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz. Raja yang didatangkan ke depan kamera MetrominiTV, adalah Raja Poligami, yaitu Patrio Wijoyo. Memang si Raja Poligami ini namanya mirip-mirip dengan Panembahan Senopati Sutowijoyo, salah satu raja Kerajaan Mataram yang juga beristri banyak. Berikut ini adalah cuplikan wawancara tersebut.

Nurul: Assalamu’alaykum pak, silakan duduk.
Patrio: Wa ‘alaykumsalam mbak. Terima kasih
Nurul: Sendirian saja pak? Nggak dibawa istri-istrinya?
Patrio: Wah, susah. Kalau saya bawa sebagian, eh . . maksudnya bawa satu istri, ntar saya tak enak sama yang lain. Kalau saya bawa semuanya, lebih tidak mungkin, nanti perusahaan saya berhenti. Perusahaan kan harus tetap jalan.
Nurul: Lho, yang empat orang itu pegawai bapak atau istri bapak? Kok perusahaan jadi berhenti?
Patrio: Oh, tentu saja istri saya. Tapi mereka semua memang menjadi direktur.
Nurul: Oya? Lalu kenapa tadi bapak mengatakan “tidak enak sama yang lain” jika hanya membawa satu istri. Kenapa bapak tidak mengatakan “khawatir mereka cemburu” jika hanya membawa satu istri?
Patrio (menggelengkan kepala): Oh tidak, tidak, mereka tidak ada yang cemburu kepada saya. Mereka penuh pengertian. Saya merasa berhasil sebagai suami yang berpoligami.
Nurul: O begituuu. Jadi pantas ya bapak diberi gelas Raja Poligami?
Patrio (tertegun sebentar): Yah, yang memberi gelar itu kan bukan saya.
Nurul: Tapi bapak tidak menolak bukan diberi gelar seperti itu?. Biasanya orang kan suka malu jika diberi gelar yang aneh-aneh, maksud saya kan ini tidak lazim.
Patrio: Sebentar mbak. . . Tak lazim bagaimana maksudnya? Itulah yang salah di masyarakat kita. Mereka belum terbiasa, jadi saya merasa terpanggil untuk memasyarakatkan hal yang tak lazim tersebut.
Nurul: Yang dimasyarakatkan itu Poligaminya atau istilah Raja Poligaminya?
Patrio: Emm, ya dua-duanya.
Nurul: Ok deh, Ngomong-ngomong bidang bisnis apa yang bapak geluti? Saya dengar bapak usaha Poliklinik?
Patrio: Betul. Saya sukses usaha di bidang Poliklinik. Poliklinik swasta yang pertama saya dirikan adalah di Solo, namun sekarang sudah ada di 10 kota di 4 propinsi.
Nurul: Wah, jadi bapak bukan hanya sebagai Raja Poligami tapi juga Raja Poliklinik ya?
Patrio: Nggak juga. Saya juga sekarang punya 5 Politeknik di 5 ibukota propinsi.
Nurul (terkejut): Walah staf saya di MetrominiTV rupanya kurang bekerja optimal, karena saya hanya diberi bocoran tentang Poliklinik saja.
Patrio: Ya nggak apalah mbak. Memang saya belum terlalu sukses. Sehingga staf mbak wajar saja belum mengetahuinya.
Nurul: Oya, tadi bapak bilang semua istri bapak jadi direktur? Kalau ada 10 poliklinik dan 5 Politeknik, berarti ada 11 direktur bukan dari kalangan keluarga ya?
Patrio: Sebenarnya bisa dibilang dari kalangan dekat juga. Mereka adalah para mantan istri saya yang sudah mengundurkan diri. Jadi begitu mereka minta mengundurkan diri atas kemauan sendiri atau atas pemintaan saya, maka mereka saya jadikan direktur di salah satu perusahaan tersebut.
Nurul: Wah wah, bapak ini unik juga. Kenapa bapak menggunakan istilah mengundurkan diri? Bukankah dalam agama istilahnya “gugat cerai” atau khulu’, dan jika dari sisi bapak istilahnya “menceraikan” atau mentalak?
Patrio: Menurut saya, mengundurkan diri itu lebih terhormat karena menunjukkan suami dan istri punya kedudukan yang sama. Menikah itu adalah kesepakatan bekerja dalam tim, jadi kalau sudah tidak mau melanjutkan komitmen ya lebih tepat istilahnya mengundurkan diri.
Nurul: Istilah cerai kan istilah di Quran dan Hadist, jadi itu adalah syariat Allah swt yang wahyukan kepada Rasulullah. Kalau bapak bilang lebih terhormat, kok rasanya menganggap istilah cerai itu sesuai yang salah? Hati-hati lho pak!
Patrio (tampak gelisah sebentar): Ya itu cuma istilah saya, tanpa bermaksud menyalahkan apa yang ada di Quran.
Nurul (tersenyum agak lama): Ok deh. . . .Oya selain Raja Poligami, Raja Poliklinik, dan Raja Politeknik, apa bapak juga berkeinginan menjadi Raja yang lain? Raja apa misalnya ya, . . . (terdiam, berpikir sejenak).
Patrio (tersenyum): Hehehe Raja apalagi mbak?
Nurul: Poli apa tuh yang mengenai plastik? . . Poli-etilen ya? Ya betul poli-etilen. Jangan-jangan bapak mau usaha di bahan plastik, jadi bapak sekalian mau jadi Raja Poli-etilen? Menyuplai plastik utk pabrik ember dan kantong kresek?
Patrio (tersenyum lagi lalu berkata pelan): Saya memang sedang merintis pabrik Poli-etilen di Tangerang.
Nurul: Waduh, kok tebakan saya tepat, tapi terus terang ini terlintas di benak saya barusan lho pak, dan bukan dari investigasi di belakang layar yang kami lakukan. Bener nih saya kecewa dengan kerja staf saya, mereka kurang menyuplai saya informasi yang akurat mengenai bapak.
Nurul (melirik ke arah studio, lalu berpikir sebentar).
Nurul: Ntar saya ceraikan saja staf saya tersebut karena kerja nggak becus.
Patrio (matanya berbinar): Oh, staf mbak Nurul itu suami mbak?
Nurul: Oh bukan, mereka staf information-support. Setiap wartawan senior seperti saya punya pasukan 10 orang staf information-support.
Patrio: Oh, kenapa pakai istilah cerai? Bukannya dipecat atau apa gitu.
Nurul: Ya samalah dengan istri bapak yang mengundurkan diri. Cerai dan gugat cerai adalah istilah di MetrominiTV untuk diberhentikan dan minta pensiun dini.
Patrio (geleng-geleng kepala sampai tersenyum): Ah, mbak Nurul ngeledek saya rupanya.
Nurul (tertawa): Ah saya nggak bermaksud demikian.
Ok deh pak. Sekarang saya mau tanya yang lain, namun masih berkaitan dengan direktur perusahaan, boleh ya?
Patrio: Silakan.
Nurul: Tadi kan ada 11 perusahaan atau lembaga yang dipimpin oleh mantan istri. Berarti bapak sudah menceraikan. . . eh, maksud saya mempensiunkan atau mengabulkan permohonan pengunduran diri, waduh kok jadi repot gini ngomongnya, . . . , 11 orang ya pak? Banyak juga ya? Alasannya apa pak kalau boleh tahu
Patrio: Saya lengkapi informasinya ya? Sebenarnya tidak semuanya mantan istri, tetapi ada juga yang calon istri tapi nggak jadi, hehehe. . .
Nurul: Waduh, apa lagi tuh pak?
Patrio: Maksudnya, setiap saya pasang iklan cari pegawai, cari direktur, atau manajer, saya kan mewawancarai sendiri para calon pegawai tersebut. Nah disitu sekalian saya lihat, apakah ada yang bisa dijadikan sebagai istri.
Nurul: Wah cari istri kok persis seperti cari pegawai ya? . . .
Patrio: Yaa memang mirip.
Nurul: Sebenarnya bapak curang juga ya?
Patrio: Maksud mbak?
Nurul: Ya, kalau orang lain cari istri kan susah payah. Ada problem psikis dan problem teknis pada saat fase pendekatan, harus mengatasi ketakutan-lah, grogi-lah, perlu media-lah, sulitnya cari kesempatan-lah, ada yang perlu mak coblang-lah, dsb.
Kan fitrahnya laki-laki itu bangga mendapatkan istri dengan perjuangan dan usaha yang keras. Malahan sebagian besar pria merasa tidak tertantang, bahkan merasa kurang macho jika mendapatkan pasangan hidupnya terlalu mudah. Sedangkan bapak, berlindung dibalik proses perekrutan pegawai. Itu yang saya maksud curang.
Patrio: Hahaha. . . Itu bukan curang, tapi cerdas, dan efisien.
Nurul (menggelengkan kepala tanpa senyum): Lalu apa kriteria bapak apa?
Patrio (sambil tersenyum): Ya jujur saja. Tentu saya lihat mana yang cantik.
Nurul: Mana yang akan dipilih, cantik tapi hasil tes kemampuan kurang, atau yang kurang cantik namun kemampuannya untuk menjadi manajer tinggi?
Patrio: Kalau pilihannya itu, saya tidak menerima keduanya. Saya kan cari yang mampu untuk menjadi pegawai atau menjadi manajer namun juga cantik dan bisa dijadikan istri.
Nurul: Lalu hubungannya dengan calon istri tadi bagaimana? Tadi kan belum selesai ceritanya.
Patrio: Jadi memang yang jadi direktur selain istri yaitu 4 perusahaan, lalu 8 perusahaan dipegang mantan istri, dan 3 perusahaan dipimpin oleh calon istri. Maksudnya calon istri adalah pegawai yang tidak mau dijadikan istri.
Nurul: Yang 3 orang itu pegawai baru hasil recrutment atau pegawai lama?
Patrio: Pegawai baru.
Nurul: Nah itu berarti kecurangan bapak yang kedua.
Patrio (tampak agak gusar): Maksudnya bagaimana?
Nurul: Lamaran bapak, maaf, maksud saya tawaran bapak untuk memperistri ditolak, tapi bapak ingin tetap dekat dengan dia. Ini yang saya maksud curang.
Patrio (menjawab dingin): Itu menurut Anda.
Nurul: Bapak tampak tidak senang dengan pernyataan saya barusan, ok saya koreksi. Bukan kecurangan, tapi itu kenakalan bapak. Hehehe.
Patrio: Hmm, saya laki-laki normal mbak Nurul.
Nurul: Mengapa bapak menyebut 3 orang itu calon istri, bukankah tidak lazim mengatakan perempuan yang menolak menikah atau menampik cinta seseorang disebut sebagai calon istri? Itu tidak “pas” pak. Tampaknya bapak mengatakan itu calon istri karena bapak menganggap mereka akan berubah pikiran kelak?
Patrio: Ya kita lihat saja.
Nurul (agak kikuk): Bapak belum menemukan jawabannya, menyembunyikannya, atau malas menjawab pertanyaan ini?
Patrio: Pertanyaan yang lain saja.
Nurul: Tadi ada pertanyaan yang belum terjawab.
Patrio: Bisa diulang, saya lupa.
Nurul: Alasan bapak memecat atau mengabulkan pengunduran diri istri.
Patrio: Oya. . . (berpikir sebentar)
Patrio: Emm, ada yang ingin monogami. Ada yang saya tidak mencintainya lagi.
Nurul: Berapa orang yang berpikir ulang dan dia ingin monogami?
Patrio: Satu.
Nurul: Apakah akhirnya dia menikah lagi dengan orang lain?
Patrio: Iya
Nurul: Terus dia masih diberi kepercayaan memimpin perusahaan?
Patrio: Ya nggak-lah. Dia kan sudah jadi istri orang lain.
Nurul: Oh, jadi istri yang mengundurkan diri sebagai istri tersebut juga diceraikan sebagai pegawai? Maaf, maksud saya dia juga diberhentikan sebagai pegawai?
Patrio (tak menjawab hanya menganggukkan kepala).
Nurul: Apakah dia sebenarnya punya kemampuan dalam memimpin perusahaan?
Patrio (tak menjawab hanya tersenyum).
Nurul: Wah, kalau memang dia sebenarnya mampu dan profesional, lalu bapak pecat, maka bapak tampaknya bukan real-business man.
Patrio (masih tak menjawab, dan tersenyum kecut).
Nurul: Lalu yang 7 orang memang bapak tidak mencintainya lagi, atau karena ada yang ingin bapak nikahi lagi? Jawab dong pak. Jangan diam saja, kita disaksikan para pemirsa lho!
Patrio (mencoba tersenyum): Ya, dua-duanya benar. Nggak cinta lagi, dan karena ada calon istri lain.
Nurul: Ok deh pak. Kita istirahat sejenak (wajah Nurul beralih ke pemirsa).
Pemirsa MetrominiTV yang kami hormati, jangan kemana-mana, kita akan kembali setelah jeda iklan berikut ini.